Seagate Menciptakan Hardisk Terbaik 2012 – 60 Terabyte ( TB )

 

 

Teknologi itu diberi nama Heat-Assisted Magnetic Recording ( HAMR ). HAMR adalah teknik atau cara penulisan data secara magnetis, Dimana media penyimpanannya dipanaskan dengan bantuan sinar laser terlebih dahulu. Dengan menggunakan teknik ini,  kerapatan hardisk meningkat hingga 1 TB per inci.

Untuk diketahui, kapasitas hardisk terbesar saat ini yang banyak beredar di pasaran  baru mencapai 3 TB. Seagate akan menggunakan teknologi terbaru HAMR untuk melipatgandakan kapasitas hardisk produksinya hingga 60 TB. Pihak Seagate juga menambahkan, bahwa nantinya teknologi HAMR akan menjadi teknologi penting di masa depan.

Seperti diketahui, sejak tahun 2006 kebanyakan hardisk menggunakan teknologi Perpendicular Magnetic Recording (PMR) untuk merekam data. Kepadatan penyimpanan Hardisk Terbaik sekarang ini adalah 620 gigabyte (GB) per inci persegi. Hal ini membuat kapasitas Hardisk Terbaik yang tersedia saat ini hanya bisa mencapai 3TB untuk hardisk ukuran 3,5 inci (PC desktop) dan 750GB untuk hardisk 2,5 inci (laptop).

Berkat ditemukannya teknologi HAMR, mereka berhasil memuat kepadatan menjadi 1TB per inci persegi. Kepadatan tersebut 55% lebih banyak dibandingkan kepadatan sebelumnya. Perusahaan yang bermarkas di Scotts Valley, California ini menjanjikan, generasi pertama dari hardisk HAMR akan menawarkan kapasitas 6TB untuk hardisk Terbaru 2012 PC desktop, dan 2TB untuk hardisk Terbaik laptop.

 

Sumber : http://www.tarikulur.com

Universitas Muhammadiyah Malang

Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) adalah perguruan tinggi swasta di Kota Malang. Universitas yang berdiri pada tahun 1964 ini berinduk pada organisasi Muhammadiyah.

UMM merupakan salah satu universitas yang tumbuh cepat, sehingga oleh PP Muhammadiyah diberi amanat sebagai perguruan tinggi pembina untuk seluruh PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) wilayah Indonesia Timur. Program-programyang didisain dengan cermat menjadikan UMM sebagai “The Real University”, yaitu universitas yang benar-benar universitas dalam artian sebagai institusi pendidikan tinggi yang selalu komit dalam mengembangkan Tri Darma Perguruan Tinggi

Pada sekarang ini Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menempati 3 lokasi kampus, yaitu kampus I di jalan benduangn bandung, kampus dua di sumbersari dan kampus tiga di tegal gondo. Kampus satu yang merupakan cikal bakal UMM, dan sekarang ini dikonsentrasikan untuk program pasca sarjana. Sedangkan kampus II yang dulu merupakan pusat kegiatan utama , sekarang di konsentrasikan sebagai kampus fakultas kedokteran dan program D3 akademi perawat. Sedangkan kampus III sebagai kampus terpadu dijadikan sebagai pusat sari seluruh aktivitas.

Fakultas-Fakultas

Pada awal berdiri, UMM baru membuka beberapa fakultas, yaitu fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Hukum, Ekonomi dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) serta jurusan Ilmu Agama (Cabang dari FAI Universitas Muhammadiyah Jakarta). Seiring dengan berjalannya waktu dan tuntutan zaman, maka UMM telah membuka fakultas-fakultas lain, yaitu Fakultas Teknik, Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan dan Perikanan, Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Ilmu Kesehatan terdiri dari D3 dan S1 Keperawatan, Farmasi serta Program Pasca Sarjana yang masing-masing mengembang beberapa jurusan.

Program Diploma 3 (D3)

Terdiri dari 3 Program Diploma, antara lain:
Program D-3 Keperawatan
Program D-3 Elektronika
Program D-3 Keuangan dan Perbankan

Program Sarjana (S1)

Terdiri dari 10 Program Sarjana, antara lain:
Fakultas Agama Islam
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Fakultas Ekonomi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Fakultas Teknik
Fakultas Pertanian dan Peternakan
Fakultas Psikologi
Fakultas Hukum
Fakultas Kedokteran
Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan

Program Magister (S2)

Terdiri dari 7 Program Magister, antara lain:
Magister Manajemen
Magister Agama Islam
Magister Hukum
Magister Kebijakan Pendidikan
Magister Psikologi
Magister Sosiologi
Magister Agribisnis

Program Doktoral (S3)

Terdiri dari 1 Program Doktoral, antara lain:
Ilmu Sosial & Ilmu Politik

Mahasiswa

Saat ini UMM mendidik tidak kurang dari 45.900 mahasiswa dari seluruh penjuru tanah air, mulai dari NAD hingga Papua. Jumlah tersebut termasuk mahasiswa luar negeri, yaitu dari Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Australia dan Timor Leste. Mereka mempunyai latar belakang umur, budaya, suku ras, agama, kondisi sosial dan asal SLTA yang berada. Sehingga, menampak gerbang UMM ibarat masuk ke dalam “Dunia Mini” tempat berinteraksi antar individu dan komunitas yang beragam latar belakangnya.

Dosen dan staf teknis

Di bidang akademik, UMM terus mengembangkan sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan pendidikan, penelitian yang berstandar internasional serta didukung dosen yang qualified. Hal ini dilakukan, karena UMM telah bertekad menjadi The Real University. Saat ini, UMM mempunyai staf pengajar tidak kurang 750 orang dengan kualifikasi pendidikan hampir 80% lulusan S2, 15% S3 dan Guru Besar sedangkan sisanya masih lulusan S1 dari berbagai PT dalam dan luar negeri. Selain itu UMM juga didukung oleh ratusan staf administrasi, teknisi dan laboran yang masing-masing ahli di bidangnya. Untuk meningkatkan Skill dan kualitas SDM, UMM secara berkala mengirimkan dosen dan staf teknis ke luar negeri untuk mempelajari dan mendalami ilmu dan pengetahuan di semua bidang.

Ultra-Distant Galaxy Discovered Amidst Cosmic ‘Dark Ages’: May Be Oldest Galaxy Ever

With the combined power of NASA’s Spitzer and Hubble space telescopes as well as a cosmic magnification effect, a team of astronomers led by Wei Zheng of The Johns Hopkins University has spotted what could be the most distant galaxy ever detected.

Light from the young galaxy captured by the orbiting observatories shone forth when the 13.7-billion-year-old universe was just 500 million years old.

The far-off galaxy existed within an important era when the universe began to transit from the so-called “Dark Ages.” During this period, the universe went from a dark, starless expanse to a recognizable cosmos full of galaxies. The discovery of the faint, small galaxy accordingly opens up a window into the deepest, remotest epochs of cosmic history.

“This galaxy is the most distant object we have ever observed with high confidence,” said Zheng, a principal research scientist in The Henry A. Rowland Department of Physics and Astronomy at Johns Hopkins’ Krieger School of Arts and Sciences and lead author of a paper appearing in Nature on Sept. 20. “Future work involving this galaxy — as well as others like it that we hope to find — will allow us to study the universe’s earliest objects and how the Dark Ages ended.”

Light from the primordial galaxy traveled approximately 13.2 billion light-years before reaching NASA’s telescopes. In other words, the starlight snagged by Spitzer and Hubble left the galaxy when the universe was just 3.6 percent of its present age. Technically speaking, the galaxy has a redshift, or “z,” of 9.6. The term “redshift” refers to how much an object’s light has shifted into longer wavelengths as a result of the expansion of the universe. Astronomers use “redshift” to describe cosmic distances.

Unlike previous detections of galaxy candidates in this age range, which were only glimpsed in a single color, or waveband, this newfound galaxy has been seen in five different wavebands. As part of the Cluster Lensing and Supernova Survey with Hubble program (CLASH), the Hubble Space Telescope registered the newly described far-flung galaxy in four wavelength bands. Spitzer located it in a fifth band with its Infrared Array Camera (IRAC), placing the discovery on firmer ground.

Objects at these extreme distances are mostly beyond the detection sensitivity of today’s largest telescopes. To catch sight of these early, distant galaxies, astronomers rely on “gravitational lensing.” In this phenomenon — predicted by Albert Einstein a century ago — the gravity of foreground objects warps and magnifies the light from background objects. A massive galaxy cluster situated between our galaxy and the early galaxy magnified the latter’s light, brightening the remote object some 15 times and bringing it into view.

Based on the Spitzer and Hubble observations, astronomers think the distant galaxy was spied at a time when it was less than 200 million years old. It also is small and compact, containing only about 1 percent of the Milky Way’s mass. According to leading cosmological theories, the first galaxies should indeed have started out tiny. They then progressively merged, eventually accumulating into the sizable galaxies of the more modern universe.

These first galaxies likely played the dominant role in the epoch of reionization, the event that signaled the demise of the universe’s Dark Ages. About 400,000 years after the Big Bang, neutral hydrogen gas formed from cooling particles. The first luminous stars and their host galaxies, however, did not emerge until a few hundred million years later. The energy released by these earliest galaxies is thought to have caused the neutral hydrogen strewn throughout the universe to ionize, or lose an electron, the state in which the gas has remained since that time.

“In essence, during the epoch of reionization, the lights came on in the universe,” said paper co-author Leonidas Moustakas, a research scientist at NASA’s Jet Propulsion Laboratory, a division of the California Institute of Technology in Pasadena, Calif.

Astronomers plan to study the rise of the first stars and galaxies and the epoch of reionization with the successor to both Spitzer and Hubble — NASA’s James Webb Telescope, slated for launch in 2018. The newly described distant galaxy will likely be a prime target.

Holland Ford, one of Zheng’s colleagues and a co-author on the paper, commented on the findings.

“Science is very exciting when we explore the frontiers of knowledge,” said Ford, a physics and astronomy professor at Johns Hopkins. “One of these frontiers is the first few hundred million years after the birth of our universe. Dr. Zheng’s many years of searching for quasars and galaxies in the dawn of the universe has paid off with his discovery of a galaxy that we see as it was when the universe was less than 500 million years old.

“With his discovery, we are seeing a galaxy when it was not even a toddler,” Ford said. “But this infant galaxy will in its future grow to be a galaxy like our own, hopefully hosting planetary systems with astronomers who will look back in time and see our galaxy in its infancy.”

Source : http://www.sciencedaily.com

             Story Source:

The above story is reprinted from materials provided by Johns Hopkins University, via Newswise. The original article was written by Lisa DeNike.

Note: Materials may be edited for content and length. For further information, please contact the source cited above.

Journal Reference:

Wei Zheng, Marc Postman, Adi Zitrin, John Moustakas, Xinwen Shu, Stephanie Jouvel, Ole Høst, Alberto Molino, Larry Bradley, Dan Coe, Leonidas A. Moustakas, Mauricio Carrasco, Holland Ford, Narciso Benítez, Tod R. Lauer, Stella Seitz, Rychard Bouwens, Anton Koekemoer, Elinor Medezinski, Matthias Bartelmann, Tom Broadhurst, Megan Donahue, Claudio Grillo, Leopoldo Infante, Saurabh W. Jha, Daniel D. Kelson, Ofer Lahav, Doron Lemze, Peter Melchior, Massimo Meneghetti, Julian Merten, Mario Nonino, Sara Ogaz, Piero Rosati, Keiichi Umetsu, Arjen van der Wel. A magnified young galaxy from about 500 million years after the Big Bang. Nature, 2012; 489 (7416): 406 DOI: 10.1038/nature11446

Children With Autism Experience Interrelated Health Issues

One in 88 children has been diagnosed with an autism spectrum disorder (ASD) in the United States, according to the Centers for Disease Control and Prevention. A new study by a University of Missouri researcher found that many children with ASD also experience anxiety, chronic gastrointestinal (GI) problems and atypical sensory responses, which are heightened reactions to light, sound or particular textures. These problems appear to be highly related and can have significant effects on children’s daily lives, including their functioning at home and in school.

Micah Mazurek, an assistant professor of health psychology and a clinical child psychologist, found in her study of 2,973 children and adolescents with ASD that nearly one-fourth also had chronic GI problems, such as constipation, abdominal pain, bloating, diarrhea or nausea. The results also showed that children with chronic GI problems were more likely to experience anxiety and sensory problems.

“These problems can have a very real impact on daily life. Children with anxiety may be distressed or reluctant to engage in new activities, and those with sensory problems may have trouble paying attention or participating in over-stimulating enviornments,” Mazurek said. “These children may also suffer uncomfortable GI problems that they may not be able to communicate about to adults.”

Clinicians should be aware that anxiety, GI problems and sensory sensitivity often co-occur in individuals with ASD. Effectively managing these concurrent issues may improve children’s quality of life and their responses to treatment, Mazurek said.

“Parents need to be aware that these problems may underlie some of their children’s difficulties, so if they notice any symptoms, they should talk to their doctors or therapists about treatment options,” Mazurek said. “Practitioners who work with children with ASD need to be mindful that there is a pretty high rate of these problems, so if children are treated for one issue, it may helpful to screen for these additional symptoms.”

This is the first study to examine the relationships among anxiety, GI problems and sensory over-responsivity in a large, nationally representative sample of children and adolescents with ASD. Participants in the study were enrolled in the Autism Treatment Network, a network of 17 autism centers throughout North America that are focused on best practices for medical treatment of children with ASD.

Source :  http://www.sciencedaily.com (Sep. 19, 2012)

              Story Source:

The above story is reprinted from materials provided by University of Missouri-Columbia.

Note: Materials may be edited for content and length. For further information, please contact the source cited above.

Journal Reference:

Mazurek, M.O., Vasa, R.A., Kalb, L.G., Kanne, S.M., Rosenberg, D., Keefer, A., Murray, D., & Lowery, L. Anxiety, sensory over-responsivity, and gastrointestinal problems in children with autism spectrum disorders. Journal of Abnormal Psychology, 2012 (in press)

Manfaat Teknologi Informasi Juga Bisa Merusak Masa Depan!

 

Manfaat teknologi informasi dalam perkembangan zaman di era globalisasi memang bisa memudahkan segala aktifitas kita, di setiap waktu ada saja suatu manfaat baru yang bisa kita dapatkan dari adanya perkembangan teknologi. Dari kemunculan teknologi informasi ini, sebenarnya kita memang mendapatkan banyak manfaat, tapi juga kita mendapatkan ancaman terhadap masa depan kita nantinya.

Bukankah kita tahu sendiri kalau setiap dari manfaat yang kita dapatkan, kita pasti juga akan mendapatkan dampak negatifnya? Nah, begitu juga dengan manfaat teknologi informasi yang mana sangat bisa mengancam masa depan manusia, terutama generasi muda kita saat ini. Selain untuk mempermudah kehidupan, teknologi informasi ini kan juga bisa merusak masa depan.

Seperti kasus-kasus dari penggunaan alat telekomunikasi semacam Ponsel dan Facebook yang tidak semestinya sekarang ini, kita bisa melihat berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari selain manfaat teknologi informasi itu sendiri juga kan? Kita yang buat, maka kita juga yang akan menanggung berbagai akibatnya, tentu saja dari berbagai akibat yang ditimbulkan tersebut tidak semuanya baik, karena pasti ada saja yang membuat kita menjadi lebih sulit.

Jika kita memang hidup sebagai manusia masa depan, seharusnya kita tahu dan mampu menggunakan semua manfaat teknologi informasi untuk berbagai hal yang mempermudah sekaligus meningkatkan kualitas hidup kita. Jangan sampai meskipun ada banyak manfaat teknologi informasi yang kita dapat, itu juga diikuti oleh dampak negatif teknologi informasi.

Memang tidaklah mudah untuk mentiadakan dampak negatif dari manfaat teknologi informasi, karena memang seperti yang sudah saya katakan tadi bahwa jika ada manfaat pastilah ada dampak negatifnya. Maka dari itu, tinggal kesadaran diri kita saja untuk bisa menggunakan teknologi informasi sebagaimana harusnya, jangan sampai dari manfaat teknologi informasi itu dapat merusak masa depan kita.

Sangatlah menakutkan untuk dibayangkan jika suatu teknologi informasi disalah gunakan dari sekarang sampai di masa depan nanti, kita bisa lihat sendiri berbagai aktifitas pengrusakan masa depan teknologi informasi sekarang ini yang mana sudah mulai luar biasa ganasnya. Hanya dari sekedar kasus plagariasme sampai berbagai kasus cyber crime yang seharusnya para pihak yang lebih berwenang untuk lebih memperhatikannya.

Dari kasus-kasus semacam itu saja bukankah sudah sangat menakutkan sekali dari masa depan teknologi informasi kita nanti? Tinggal kesadaran kita saja untuk lebih memperhatikan manfaat teknologi informasi yang sebenarnya itu untuk apa, jika tidak dimulai dari diri sendiri tentu saja tidak akan membawa efek terhadap pihak yang lain.

Untuk itu marilah kita memanfaatkan teknologi informasi yang ada untuk berbagai hal yang bisa mempermudah dan meningkatkan kualitas hidup kita. Terutama kita sebagai generasi muda yang mana memang lebih banyak menggunakan berbagai teknologi informasi modern saat ini, untuk lebih bisa ikut mempengaruhi pihak-pihak yang lain dalam memperbaiki manfaat teknologi informasi itu sendiri.

 

sumber : dai21juli.blogspot.com